Beberapa waktu lalu, ada seorang santri putri yang menginspirasi kami dengan sikap amanahnya. Sebut saja namanya Indah, santri Pesantren Al-Qodiri asal Kota Banjarnegara. Suatu hari, ia meminjam sebuah buku dari Perpustakaan Institut Agama Islam Al-Qodiri—yang kini telah bertransformasi menjadi Universitas Islam KH Achmad Muzakki Syah (UNIKHAMS).
Awalnya, ia hanya meminjam satu buku. Namun, buku tersebut tak kunjung dikembalikan hingga lewat 300 hari dari batas waktu peminjaman. Kami pun mengingatkannya secara pribadi melalui pesan WhatsApp. Dengan sopan, ia menyampaikan permohonan maaf dan berjanji akan segera mengembalikan buku beserta membayar denda yang berlaku. Namun, waktu terus berlalu, dan janji itu belum juga ditepati. Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya total keterlambatan mencapai 550 hari—angka yang tentu sangat jauh dari batas maksimal peminjaman, yaitu 7 hari.
Denda yang harus dibayarkan tentu cukup besar, karena sistem perpustakaan kami menetapkan denda per hari keterlambatan. Namun, di tengah keterlambatan yang begitu lama, Mbak Indah menunjukkan sikap yang luar biasa: amanah. Ia menitipkan uang denda sebesar Rp500.000 melalui salah satu petugas perpustakaan kami, Mbak Khusnul, yang saat itu sedang berada di lingkungan pesantren.
Ketika Mbak Khusnul kembali ke kampus, ia mengabarkan bahwa Mbak Indah telah menitipkan uang untuk membayar denda. Ia pun bertanya, “Kok besar sekali ya, sampai Rp550.000?”
Saya menjelaskan bahwa memang keterlambatannya sangat lama, dan sesuai peraturan, nominal tersebut adalah total akumulasi dendanya. Namun, kami tidak langsung memutuskan untuk menerima seluruh jumlah tersebut. Kami kemudian mengadakan rapat tim pustakawan, dan melalui musyawarah tersebut, kami sepakat untuk mengambil hanya Rp100.000 sebagai bentuk denda administratif, sementara sisanya kami kembalikan.
Kami tahu bahwa Mbak Indah berasal dari keluarga yang cukup berada, namun prinsip kami tetap sama: keadilan dan kebijaksanaan harus berjalan beriringan. Kami tidak ingin menjadikan denda sebagai alat pendapatan, melainkan sebagai bentuk edukasi dan tanggung jawab.
Kisah ini menjadi cerminan bahwa dalam dunia literasi dan pengelolaan perpustakaan, tidak hanya peraturan yang ditegakkan, tetapi juga nilai-nilai moral seperti amanah, kejujuran, dan kebijakan. Kami berharap kejadian serupa tidak terulang, namun jika memang terjadi lagi dan setelah berbagai peringatan masih juga tidak diindahkan, maka kami akan mengambil langkah yang lebih tegas demi kebaikan bersama.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga, bahwa amanah dan kebaikan hati selalu punya ruang untuk dihargai, bahkan di antara lembaran-lembaran buku perpustakaan.
Posting Komentar untuk "Sebuah Kisah Amanah dan Kebijaksanaan di Perpustakaan UNIKHAMS"