![]() |
Sesi Foto Bersama saat setelah acara di Aula selesai |
Catatan reflektif ini kami susun berdasarkan pengalaman langsung saat melaksanakan studi banding ke Pesantren Al-Ishlah Bondowoso.
Secara bentuk, kegiatan studi banding tentu dapat dilakukan di banyak tempat dengan pola yang hampir serupa. Namun, nilai dan makna yang lahir dari setiap kunjungan kerap berbeda, bergantung pada cara pandang, konteks, dan sudut refleksi masing-masing peserta.
Dari Pesantren Al-Ishlah, kami memperoleh banyak sekali pelajaran, wawasan, dan sudut pandang baru terkait dinamika kepesantrenan kontemporer. Apa yang kami tuangkan di sini hanyalah sebagian kecil dari butiran hikmah yang kami serap, selebihnya menjadi bekal untuk kami renungkan, diskusikan lebih dalam, dan semoga dapat diimplementasikan dalam konteks keilmuan dan pengabdian di ranah masing-masing.
adapun poin-poin yang kami dapatkan adalah sebagai berikut:
Latihan Menjadi Entrepreneur Sejak Dini di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso
Di belakang kami ada banyak Kolam ikan yang dikelola Santri
Saat kami tiba di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso, sambutan hangat langsung kami rasakan sejak kaki menjejak tanah pesantren. Begitu turun dari bus, kami disambut ramah oleh para santri dan pengurus pesantren. Tanpa menunggu lama, kami diajak berkeliling melihat salah satu program unggulan yang sangat menarik perhatian kami: kolam ikan lele yang dikelola langsung oleh para santri.
Di area tersebut, terdapat beberapa kolam ikan lele yang tertata rapi. Kolam-kolam ini merupakan hasil bantuan dari pemerintah sebagai bagian dari program pemberdayaan ekonomi di lingkungan pesantren. Namun, yang membuatnya istimewa bukan sekadar bantuan fisik kolam dan bibit ikan, melainkan bagaimana pesantren Al-Ishlah memanfaatkan fasilitas ini sebagai media pembelajaran wirausaha bagi para santri.
Para santri tidak hanya belajar mengaji dan ilmu agama, tetapi juga diberi tanggung jawab untuk mengelola kolam ikan lele ini secara mandiri. Mereka belajar mulai dari perawatan ikan, pemberian pakan, menjaga kualitas air, hingga cara memanen dan memasarkannya. Semua ini menjadi bekal berharga bagi para santri untuk memiliki jiwa entrepreneur sejak dini.
Melalui kegiatan ini, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso menanamkan nilai kemandirian, tanggung jawab, dan kerja sama tim kepada para santri. Dengan demikian, para santri diharapkan tidak hanya siap menjadi generasi penerus yang alim dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki kemampuan berwirausaha yang dapat mereka kembangkan di kemudian hari.
Kolam ikan lele di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso bukan hanya sekadar sarana budidaya ikan, tetapi juga ladang belajar yang menanamkan mental wirausaha sejak dini. Sebuah langkah nyata dalam mencetak generasi santri yang mandiri, kreatif, dan siap terjun di masyarakat dengan bekal ilmu dan keterampilan yang lengkap.
Hadiqotul Qur’an: Taman Hijau, Taman Hafalan
Setelah puas melihat kolam ikan lele dan mendengar cerita bagaimana para santri belajar menjadi entrepreneur sejak dini, kami diajak berjalan ke sebuah tempat yang begitu menenangkan. Tempat itu dinamakan Hadiqotul Qur’an, atau yang berarti Taman Al-Qur’an.
Begitu tiba di sana, suasana sejuk langsung terasa. Hamparan rumput hijau yang terawat dengan baik menutupi seluruh area taman, membuatnya tampak asri dan menyejukkan mata. Di sinilah para santri biasa duduk bersila, meresapi ayat demi ayat Al-Qur’an yang mereka hafalkan.
Melihat Taman Al-Qur’an ini, saya teringat sebuah nasihat sederhana: salah satu cara menyehatkan mata adalah dengan sering melihat yang hijau-hijau. Tampaknya, di sini para santri tidak hanya menyehatkan hati dengan Al-Qur’an, tetapi juga menyehatkan mata dengan pemandangan hijau yang menenangkan.
Hadiqotul Qur’an bukan hanya tempat untuk menghafal. Saat ada acara pesantren, taman ini pun sering digunakan sebagai tempat berkumpul. Benar-benar terasa bahwa pesantren ini memahami betul pentingnya suasana yang mendukung proses menghafal Al-Qur’an.
Rasanya memang sepatutnya para penghafal Al-Qur’an memiliki area khusus yang nyaman, tenang, dan menyejukkan, agar hati dan pikiran mudah fokus. Suasana yang mendukung seperti ini adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga semangat para santri tetap tumbuh bersama hafalan ayat-ayat suci.
Video Hadiqotul Qur'an silahkan lihat disini : https://youtube.com/shorts/5QUdqhIT_lo?si=e-WIfuwHiBpmYusV
Selain memiliki kolam ikan lele dan Hadiqotul Qur’an yang hijau menenangkan, Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso juga memiliki satu usaha lain yang tak kalah menarik: Amalis, air mineral produksi pesantren sendiri.
Kehadiran Amalis memberikan banyak manfaat nyata. Pertama, tentu saja mendukung ekonomi pesantren. Hasil penjualan air mineral ini bisa digunakan untuk membantu biaya operasional, beasiswa santri, atau pengembangan fasilitas.
Kedua, Amalis menjadi media promosi yang efektif. Setiap botol yang beredar di masyarakat membawa nama baik Pondok Al-Ishlah — sebuah cara sederhana namun kuat untuk mengenalkan pesantren ke luar.
Ketiga, Amalis juga mendukung kebutuhan internal pesantren. Air mineral ini digunakan dalam kegiatan harian para santri, acara pengajian, tamu undangan, hingga konsumsi untuk kegiatan besar.
Lebih jauh lagi, produk ini juga menjadi sarana praktik wirausaha bagi para santri. Mereka bisa belajar bagaimana memproduksi, mengemas, memasarkan, hingga mendistribusikan produk secara profesional. Dengan begitu, santri mendapat pelajaran nyata tentang manajemen usaha dan pentingnya menjaga kualitas produk.
Amalis bukan sekadar air mineral, tetapi simbol kemandirian pesantren. Inilah salah satu bukti nyata bahwa Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso serius mencetak generasi santri yang tidak hanya cakap ilmu agama, tetapi juga siap mandiri secara ekonomi.
Saat acara berlangsung di Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso, ada hal menarik yang saya perhatikan. Pembacaan Al-Qur’an di sini tidak menggunakan qiroah seperti yang biasa saya temui di acara-acara resmi, melainkan dibacakan dengan metode Tartilul Qur’an. Sekilas memang tampak sederhana, bahkan terkesan tidak ‘meriah’ seperti lantunan qori’ pada umumnya. Namun semakin saya renungkan, ternyata di situlah letak keistimewaannya.
Dalam Al-Qur’an sendiri jelas disebutkan: “Warattilil Qur’ana Tartila” — dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil, perlahan, benar, dan sesuai kaidah. Sayangnya, kita seringkali terlalu terpesona pada indahnya lagu bacaan, sampai kadang lupa pada kebenaran hukum-hukum tajwidnya. Tidak sedikit qori’ yang fokus pada lagu merdu, namun tajwidnya justru terbengkalai.
Hari itu saya benar-benar belajar, bahwa membaca Al-Qur’an yang utama bukan sekadar lantunannya indah, tetapi bacaannya harus benar. Karena keindahan sesungguhnya ada pada bacaan yang sesuai dengan ilmu tajwid, sebagaimana diajarkan Nabi ï·º.
Saya teringat penjelasan Gus Baha’ dalam salah satu kajiannya. Beliau menegaskan, mukjizat Al-Qur’an tidak akan pernah hilang hanya karena dibaca tanpa lantunan qori’ yang merdu. Bahkan, akan berbahaya jika kita menganggap kemukjizatan Al-Qur’an bergantung pada merdu tidaknya suara manusia.
Di momen itulah saya memahami, membaca Al-Qur’an dengan tartil bukan sekadar metode, tapi juga cara menjaga kemurnian bacaan agar tetap benar dan terjaga keasliannya. Sebuah pelajaran sederhana, namun berharga: kembalikan Al-Qur’an pada fitrahnya — dibaca dengan benar, diamalkan dengan sungguh-sungguh.
Tak jarang kita mendengar berbagai pendapat miring tentang Pesantren Al-Ishlah Bondowoso. Ada yang mengatakan pesantren ini bukan bagian dari NU, ada yang menuduh condong ke Salafi, dan stigma negatif lainnya. Namun, semua anggapan itu terjawab tuntas pada acara yang baru saja kami ikuti.
Bapak Misbahul Muslih, M.Pd., selaku Kepala Departemen Bidang Pendidikan Pesantren Al-Ishlah, dengan lugas menjelaskan jati diri pesantren ini. Beliau menuturkan bahwa Pesantren Al-Ishlah berdiri di atas dan untuk semua golongan. Sejak awal dirintis, pondok ini memang dibangun dengan semangat keterbukaan, tanpa sekat golongan.
Beliau menjelaskan bahwa pendiri Al-Ishlah adalah seorang alumni Pesantren Gontor sekaligus Pesantren Ploso Kediri. Oleh sebab itu, Al-Ishlah menggabungkan kebaikan dari keduanya:
-
Kurikulumnya mengikuti Pesantren Gontor, sebab pendiri pernah menimba ilmu di sana. Maka dari itu, sistem pembelajaran modern dan terstruktur menjadi salah satu ciri Al-Ishlah.
-
Ibadahnya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah, sehingga para santri dibimbing untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama berdasarkan sumber-sumber yang kuat.
-
Akhlaqnya mengikuti tradisi Salafiyah, karena pendirinya juga alumni Pesantren Ploso Kediri, yang dikenal kuat dalam membina adab dan akhlaq para santri. Beliau bahkan menambahkan, akhlaq di Al-Ishlah juga meneladani Pondoknya Gus Kaustar.
Dari penjelasan tersebut, semakin jelas bahwa Pesantren Al-Ishlah bukanlah milik satu golongan saja. Al-Ishlah adalah rumah bersama, tempat para santri belajar agama dengan pendekatan moderat, terbuka, dan mengakar pada tradisi keilmuan Islam yang beragam.
Di sinilah Al-Ishlah berdiri kokoh: memadukan ilmu, ibadah, dan akhlaq dalam satu nafas pendidikan. Sebuah pesantren yang insyaAllah mampu mencetak generasi berilmu, beradab, dan bermanfaat bagi umat — tanpa sekat golongan, tanpa batas stigma.
Selain mendidik para santri yang mukim, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso juga membuka jenjang pendidikan formal berupa SMP. Kehadiran SMP ini bukan semata-mata untuk menambah jumlah siswa, tetapi berangkat dari niat mulia: agar masyarakat sekitar bisa semakin dekat dengan pesantren.
Melalui SMP ini, para tetangga yang mungkin sebelumnya hanya melihat aktivitas pesantren dari jauh, kini dapat terlibat lebih dekat. Anak-anak mereka bisa bersekolah dengan suasana pesantren, merasakan nilai-nilai kedisiplinan, keagamaan, dan akhlaq, meski tidak tinggal di asrama.
Hal serupa juga terjadi di Pesantren Al-Qodiri Jember. Kiai Muzakki, pendirinya, dengan penuh kebijaksanaan tetap membuka kesempatan bagi para siswa non-mukim untuk belajar di lingkungan pesantren. Beliau berharap dengan begitu, warga sekitar merasa memiliki akses ke pesantren, mengenal ulama, dan mendapat tempias barokah ilmu yang diajarkan di dalamnya.
Langkah membuka sekolah formal di lingkungan pesantren adalah ikhtiar nyata untuk merangkul masyarakat, mempererat hubungan antara pesantren dan lingkungan sekitar. Karena pada akhirnya, pesantren bukan hanya milik para santri mukim, tetapi juga milik masyarakat — ladang ilmu, ladang doa, dan ladang keberkahan bagi siapa saja yang mau mendekat.
Dalam konteks penguatan kemandirian lembaga dan pemerataan akses pendidikan, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso menerapkan skema kebijakan pembiayaan yang inklusif dan adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi peserta didik. Kebijakan ini dirumuskan untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat memiliki peluang yang setara dalam memperoleh layanan pendidikan dan pembinaan keagamaan di lingkungan pesantren.
Secara operasional, kebijakan pembiayaan tersebut diterapkan melalui tiga pola, yaitu:
Pertama, skema Banu (Bayar Penuh), di mana peserta didik melakukan pembayaran biaya pendidikan secara utuh sesuai ketentuan resmi yang telah ditetapkan pihak pesantren. Pola ini diberlakukan bagi santri yang berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi memadai.
Kedua, skema Basa (Bayar Sebisanya), yaitu mekanisme pembayaran fleksibel yang menyesuaikan dengan kapasitas finansial masing-masing keluarga. Melalui pola ini, pesantren memberikan ruang bagi santri dari keluarga menengah ke bawah untuk tetap mengakses layanan pendidikan tanpa tekanan beban biaya yang melebihi kemampuan mereka.
Ketiga, skema Taba (Tanpa Bayar), yaitu pembebasan biaya pendidikan secara penuh bagi peserta didik dari keluarga yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki motivasi dan komitmen kuat untuk menuntut ilmu di pesantren.
Dengan implementasi kebijakan pembiayaan inklusif tersebut, Pesantren Al-Ishlah berupaya mewujudkan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan Islam, sekaligus mengukuhkan diri sebagai lembaga yang peduli pada pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen lembaga pesantren tidak hanya terbatas pada transmisi ilmu keagamaan semata, tetapi juga pada perluasan akses, pemberdayaan, dan pembinaan generasi yang berkarakter, tanpa diskriminasi kondisi ekonomi.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berpijak pada visi membentuk generasi yang berilmu dan berakhlak, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso memiliki prinsip dasar yang wajib dicapai oleh setiap santri. Prinsip ini tidak hanya menekankan penguasaan aspek keagamaan secara teoritis, tetapi juga memastikan keterampilan praktis yang menjadi ciri khas tradisi pesantren tetap terjaga dan berkembang.
Setidaknya terdapat tiga kompetensi utama yang menjadi target capaian santri di Pesantren Al-Ishlah:
Pertama, santri dituntut untuk mampu menerjemahkan Al-Qur’an dengan benar, sekaligus menguasai i’rob (analisis gramatikal) setiap ayat. Penguasaan ini mencerminkan kemampuan memahami struktur bahasa Arab secara mendalam, sehingga santri tidak hanya membaca, tetapi juga memahami makna Al-Qur’an secara tekstual maupun kontekstual.
Kedua, santri diharuskan memiliki kecakapan membaca kitab kuning (kitab turats) — warisan keilmuan klasik Islam yang menjadi sumber rujukan utama dalam berbagai disiplin ilmu agama. Kemampuan membaca kitab kuning menuntut penguasaan gramatika Arab tanpa harakat (gundul) dan pemahaman mendalam atas metodologi kajian fikih, tafsir, akidah, hingga tasawuf.
Ketiga, setiap santri di Pesantren Al-Ishlah didorong untuk menjadi hafidz Al-Qur’an, yaitu menghafal Al-Qur’an secara utuh. Kompetensi ini bukan hanya menjadi kebanggaan personal, tetapi juga modal spiritual yang membentuk karakter santri yang kuat, berakhlak mulia, serta siap berkiprah di masyarakat dengan membawa nilai-nilai Al-Qur’an.
Ketiga prinsip tersebut menjadi pilar utama dalam sistem pendidikan Pesantren Al-Ishlah. Melalui penguasaan menerjemah dan i’rob Al-Qur’an, kemampuan membaca kitab kuning, serta hafalan Al-Qur’an, para santri ditempa agar memiliki fondasi keilmuan yang kokoh, mampu menjawab tantangan zaman, dan tetap terikat pada nilai-nilai keilmuan tradisional yang menjadi ciri khas pesantren Nusantara.
Prinsip ini membuktikan bahwa Pesantren Al-Ishlah tidak sekadar melahirkan lulusan yang paham agama secara dangkal, tetapi mendidik generasi yang alim, terampil, dan berkarakter — sebuah kombinasi keilmuan yang patut dibanggakan di tengah era modernisasi pendidikan Islam.
Salah satu keunikan yang sering menjadi cerita menarik tentang Pesantren Al-Ishlah Bondowoso adalah bagaimana para mahasiswanya dikenal mandiri dan terampil dalam banyak hal. Bukan hanya piawai di ruang kuliah, para mahasiswa di sini juga terjun langsung dalam pengelolaan berbagai sektor penting di pesantren, termasuk urusan logistik yang vital, seperti penyediaan konsumsi sehari-hari.
Menariknya, pengelolaan kebutuhan makan para santri dan mahasiswa sepenuhnya dijalankan oleh mahasiswa sendiri. Mulai dari perencanaan, belanja bahan, pengaturan jadwal masak, hingga pendistribusian menu dilakukan secara mandiri. Bahkan, jabatan direktur atau penanggung jawab utama bidang logistik pun dipegang oleh mahasiswa terpilih.
Kemandirian inilah yang menjadikan para mahasiswa di Pesantren Al-Ishlah tidak hanya dibekali ilmu akademis di ruang kelas, tetapi juga keterampilan manajerial, kerja sama tim, kepemimpinan, serta kemampuan memecahkan masalah di lapangan.
Karena tanggung jawab mereka cukup besar di pagi hari — mulai dari menjadi petugas dapur, pengurus asrama, penjaga kebersihan, hingga berbagai bidang pelayanan pesantren — maka perkuliahan diatur berlangsung pada siang hari. Jadwal ini dirancang agar mahasiswa tetap bisa menunaikan amanah pengabdian di pesantren tanpa meninggalkan kewajiban belajar di bangku kuliah.
Sistem ini menjadikan mahasiswa di Al-Ishlah terbiasa bekerja keras, disiplin, dan tangguh. Mereka tidak hanya belajar teori, tetapi benar-benar mempraktikkan nilai-nilai kemandirian, tanggung jawab, dan kepemimpinan setiap hari. Inilah keunikan Al-Ishlah yang tidak sekadar mencetak lulusan berijazah, tetapi menyiapkan generasi yang sanggup memimpin dan melayani — di manapun mereka berada kelak.
Selain fokus pada pendidikan dan pembinaan karakter, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso juga terus mengembangkan kemandirian ekonomi melalui berbagai program nyata. Salah satu terobosan terbaru yang patut diapresiasi adalah kehadiran cold storage atau gudang beku portable di lingkungan pesantren.
Cold storage ini merupakan bantuan dari Bapak Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang ditujukan sebagai fasilitas pendukung industri perikanan, khususnya industri pemindang di Bondowoso dan sekitarnya. Melalui fasilitas ini, Pesantren Al-Ishlah diharapkan dapat berkontribusi nyata dalam menjaga kualitas hasil perikanan lokal agar tetap segar, bernilai jual tinggi, dan mampu menjangkau pasar yang lebih luas.
Menariknya, keberadaan cold storage ini juga secara langsung mendukung penguatan ekonomi pesantren. Fasilitas ini membuka peluang bagi pesantren untuk terlibat dalam rantai pasok perikanan, mulai dari penyimpanan, distribusi, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan demikian, pondok tidak hanya berperan sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi lokal.
Program ini juga menjadi sarana pembelajaran kewirausahaan dan manajemen bagi santri. Para santri dapat belajar bagaimana mengelola fasilitas penyimpanan, memahami rantai pasok produk perikanan, hingga terlibat dalam pemasaran hasil produksi. Dengan begitu, kemandirian ekonomi pesantren benar-benar terwujud, sejalan dengan visi menjadikan santri mandiri, terampil, dan siap terjun ke masyarakat dengan bekal keterampilan nyata.
Informasi lebih lengkap mengenai program cold storage di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso dapat diakses melalui tautan berikut.
Salah satu hal menarik dan patut diapresiasi di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso adalah aturan tegas terkait budaya bebas rokok di seluruh area pondok. Peraturan ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar dijaga dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
Saya sempat merenung, betapa tepatnya kebijakan ini. Merokok, selain berdampak buruk bagi kesehatan, juga membawa konsekuensi ekonomi yang tidak sedikit. Bagi seorang santri, biaya membeli rokok tentu menjadi pengeluaran tambahan yang sebetulnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih bermanfaat — membeli buku, menabung, atau membantu keperluan keluarga di rumah.
Ketua STIT Al-Ishlah sendiri pernah menegaskan hal ini dengan cara yang unik. Beliau berkata dengan nada santai namun penuh makna, “Di pondok ini semua area dilarang merokok. Kalau jenengan mau merokok, silakan masuk ke ruangan saya. Nanti saya sediakan tempat khusus untuk merokok di sana.” Sebuah sindiran halus sekaligus penegasan bahwa di lingkungan pesantren tidak ada tempat untuk budaya merokok.
Aturan ini menunjukkan bagaimana pesantren membangun budaya sehat dan hemat di kalangan santri dan civitas akademika. Lingkungan bebas asap rokok membuat suasana belajar lebih nyaman, udara di asrama tetap bersih, dan kesehatan santri lebih terjaga. Lebih dari itu, kebiasaan menahan diri dari rokok mendidik santri untuk bertanggung jawab atas kesehatannya dan bijak dalam membelanjakan uang sakunya.
Pesantren memang sepatutnya bukan hanya mendidik akhlak dan ilmu agama, tetapi juga mendidik kebiasaan hidup yang bersih, sehat, dan penuh kesadaran. Budaya tanpa rokok di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan sederhana dapat membentuk karakter generasi yang lebih sehat, disiplin, dan hemat dalam membangun masa depan.
Pesantren Al-Ishlah Bondowoso tidak hanya fokus pada pendidikan agama dan akademik, tetapi juga memberikan berbagai pembekalan keterampilan hidup bagi para santrinya. Prinsip ini sejalan dengan visi pondok untuk mencetak generasi yang tidak hanya alim secara ilmu, tetapi juga mandiri, terampil, dan siap terjun ke masyarakat.
Berbagai pelatihan praktis diberikan kepada santri, mulai dari pengelolaan kolam ikan lele — seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya — hingga keterampilan lain yang bermanfaat. Salah satu contohnya adalah pelatihan menjahit. Melalui kegiatan ini, santri diajarkan keterampilan dasar menjahit, memperbaiki pakaian, hingga membuat produk sederhana yang memiliki nilai guna dan nilai jual.
Selain itu, masih banyak kegiatan pembekalan lain yang disiapkan sesuai minat dan potensi para santri. Dengan adanya pelatihan ini, santri dilatih untuk terbiasa bekerja dengan tangan mereka sendiri, menumbuhkan kemandirian ekonomi, dan memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang produktif.
Prinsipnya sederhana, namun sarat makna: santri tidak hanya diasah kecerdasan pikirannya melalui penguasaan Al-Qur’an, kitab kuning, dan ilmu agama lainnya, tetapi juga dibekali keterampilan praktis agar kelak mampu mandiri secara ekonomi. Dengan begitu, santri Al-Ishlah diharapkan bisa menjadi pribadi yang utuh — kuat iman, kokoh ilmu, santun akhlaq, dan sigap menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Salah satu hal yang menjadi ciri khas di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso adalah penerapan disiplin adab yang tegas, terutama dalam hal penghormatan santri kepada para ustadz. Di sini, santri wajib mengucapkan salam dan mencium tangan ustadz setiap kali bertemu. Aturan ini bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari pendidikan akhlaq santri untuk senantiasa memuliakan guru sebagai perantara ilmu.
Menariknya, pelanggaran terhadap adab ini tidak dianggap remeh. Jika seorang santri sengaja tidak mengucapkan salam atau enggan mencium tangan ustadz, maka sanksinya cukup tegas: diskorsing.
Hal ini pernah ditanyakan secara langsung oleh Bapak Dr. H. Umar Hasibullah, M.Pd.I dari Universitas Islam KH Achmad Muzakki Syah (UNIKHAMS). Beliau sempat bertanya, “Apa tidak justru membuat santri senang kalau diskorsing? Kan enak, jadi tidak ikut ngaji.”
Namun pihak pesantren menjelaskan bahwa diskorsing di sini bukan berarti hanya sekadar tidak mengikuti pengajian di pondok. Santri yang diskorsing benar-benar dipulangkan ke rumah, dan batas waktu kepulangannya tidak ditentukan.
Selama masa skorsing, pihak pesantren secara aktif memantau perkembangan santri melalui komunikasi dengan wali santri. Setiap pekan, orang tua akan dihubungi dan ditanya apakah ada perubahan sikap yang lebih baik di rumah. Jika dalam masa evaluasi ini santri menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, barulah mereka diizinkan kembali belajar di pondok.
Sistem ini menunjukkan bahwa Pesantren Al-Ishlah sangat menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. Menghormati guru adalah fondasi keberkahan ilmu. Karena itu, ketegasan bukan semata-mata hukuman, tetapi cara mendidik santri agar sungguh-sungguh menjiwai adab seorang penuntut ilmu.
Dengan langkah seperti ini, pesantren ingin memastikan bahwa para santri bukan hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berakhlak mulia — menghormati guru, orang tua, dan siapa saja yang berhak dimuliakan. Karena sejatinya, tanpa adab, ilmu akan kehilangan cahaya berkahnya.
Keyakinan Akan Barokah
Semua aturan yang diterapkan di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso — mulai dari wajib mengucapkan salam, mencium tangan ustadz, hingga sanksi skorsing bagi yang melanggar adab — pada dasarnya berangkat dari keyakinan kuat bahwa keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada kecerdasan dan kerja keras, tetapi juga pada barokah.
Di lingkungan pesantren, barokah diyakini sebagai keberkahan yang meliputi ilmu, waktu, tenaga, dan hidup seorang santri. Barokah ini lahir dari adab: bagaimana santri menjaga tata krama kepada guru, hormat kepada orang tua, serta menjunjung tinggi tradisi mulia dalam menuntut ilmu.
Keyakinan inilah yang membuat Pesantren Al-Ishlah tegas menegakkan aturan disiplin adab. Bagi mereka, tidak cukup hanya pandai membaca kitab atau hafal Al-Qur’an jika tidak dibarengi dengan akhlaq yang benar. Sebab, hanya dengan adab dan rasa hormat, ilmu akan berbuah manfaat dan keberkahan yang terus mengalir sepanjang hidup.
Prinsip ini pula yang menjadi pengingat bagi para santri: bahwa barokah bukan sekadar teori, tetapi nyata hadir dalam cara kita memperlakukan guru dan sesama. Barokah membuat sedikit ilmu terasa cukup, sedikit rezeki terasa lapang, sedikit waktu terasa penuh makna.
Dengan cara ini, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso tidak hanya mendidik santri menjadi orang yang cerdas, tetapi juga orang yang selalu haus akan keberkahan — sebuah bekal penting untuk mengarungi kehidupan di luar tembok pesantren kelak.
Salah satu ciri istimewa Pesantren Al-Ishlah Bondowoso adalah penekanan bahwa akhlaq menempati posisi paling utama dalam proses pendidikan santri. Prinsip ini berangkat dari keyakinan bahwa sehebat apapun ilmu, seluas apapun wawasan keagamaan, semuanya akan kehilangan makna jika tidak dibarengi dengan adab dan akhlaq yang luhur.
Menariknya, di tengah ketegasan mendidik akhlaq, Pesantren Al-Ishlah justru memberikan ruang kebebasan dalam hal praktik ibadah furu’iyah (cabang). Para santri diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan mazhab yang mereka anut.
Misalnya, santri dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, atau ormas Islam lain, bebas menjalankan tata cara shalat dan ibadah lainnya sesuai tuntunan yang diyakini benar. Tidak ada paksaan untuk seragam dalam urusan praktik furu’iyah, selama pokok ajarannya tetap berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah.
Begitu pula dalam hal berpakaian. Pesantren membebaskan santri perempuan memilih bentuk penutup aurat yang nyaman dan diyakini paling sesuai. Ada yang hanya mengenakan kerudung biasa, ada pula yang memakai cadar. Semua dihormati, karena Al-Ishlah sejak awal memang berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Kebebasan yang terjaga ini menjadi bukti bahwa Pesantren Al-Ishlah benar-benar merawat semangat persatuan di tengah keragaman umat Islam. Prinsipnya sederhana tetapi mendalam: beda praktik ibadah boleh, tetapi akhlaq tetap nomor satu.
Inilah wajah moderasi Pesantren Al-Ishlah — mendidik santri beradab dan berilmu, sekaligus menjadikan pondok sebagai rumah besar yang memeluk semua perbedaan dengan damai.
Ada satu kisah menarik di balik berdirinya Pesantren Al-Ishlah Bondowoso yang jarang diketahui orang luar. Pendiri pesantren ini dikenal sebagai khodam di Pesantren Ploso Kediri — seorang santri yang tulus mengabdi, melayani kiai, bahkan rela melakukan tugas-tugas yang bagi orang lain mungkin dianggap sederhana: menjadi sopir sepeda ontel, membantu di dapur, atau mengurus kebutuhan harian pondok.
Kisah ini mengajarkan pada kita bahwa seorang khodam — pelayan tulus di pesantren — tidak hanya menjalankan tugas fisik, tetapi sedang menanam bibit barokah melalui khidmah. Pengabdian inilah yang kemudian menjadi pintu terbukanya jalan mendirikan pesantren sendiri, sehingga benih keberkahan itu kini terus tumbuh dan bermanfaat bagi ribuan santri.
Fenomena serupa juga pernah dialami oleh Gus Iqdam, salah satu kiai muda yang dikenal luas di kalangan generasi sekarang. Beliau juga pernah ngalap barokah di Pesantren Ploso dengan menjadi pendamping atau sopir pribadi kiai atau gus yang sedang bepergian. Dari khidmah inilah tumbuh karakter tawadhu’, kesetiaan, dan doa-doa yang tidak pernah putus.
Kisah-kisah sederhana ini justru menjadi pelajaran penting: keikhlasan dalam khidmah seringkali menjadi jalan dibukanya pintu ilmu, amanah, bahkan keberhasilan yang tidak pernah diduga. Di Al-Ishlah, semangat khidmah inilah yang diwariskan pendiri kepada santri-santrinya — agar mereka tidak hanya cerdas, tetapi juga rendah hati dan siap mengabdi di manapun kelak berada.
Salah satu hal yang membedakan Pesantren Al-Ishlah Bondowoso dengan banyak pesantren lain adalah konsistensi dalam menjaga kurikulum kepesantrenan. Pondok ini sejak awal memilih untuk mengikuti kurikulum model Pesantren Gontor — kurikulum yang terbukti bertahan puluhan tahun tanpa harus mengikuti arus perubahan kebijakan pemerintah yang sering silih berganti.
Prinsipnya sederhana namun mendalam: kurikulum pesantren harus tetap murni, tidak mudah goyah hanya karena aturan formal yang berubah-ubah. Jika mengikuti kebijakan pemerintah, kurikulum pendidikan bisa berubah setiap lima tahun sekali, atau setiap kali menteri baru menjabat. Seolah-olah pesantren hanya dijadikan proyek kebijakan semata, bukan lembaga pendidikan mandiri yang punya ruh dan tradisi tersendiri.
Saya pribadi merenung, hal ini memang ada benarnya. Di luar sana, banyak pesantren yang mulai kehilangan kemurnian sistem ngajinya. Fokus utama bergeser ke sekolah formal semata. Tidak sedikit santri yang berhenti mondok hanya karena sudah lulus sekolah umum — padahal sejatinya, ukuran “lulus” di pesantren bukan hanya soal ijazah formal, tetapi soal kapan seorang santri benar-benar dinyatakan selesai menimba ilmu agama oleh gurunya.
Di Pesantren Al-Ishlah, kurikulum mengaji tetap dipegang erat sebagaimana tradisi Gontor. Tidak terikat pada Kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013 (K-13). Sekolah formal tetap ada, tetapi tidak menjadi pusat. Fokus utamanya tetap pada penguatan ruh kepesantrenan: belajar Al-Qur’an, kitab kuning, bahasa Arab, adab, dan penguatan karakter.
Inilah cara Al-Ishlah menjaga jati diri pesantren agar tetap menjadi benteng ilmu agama, bukan sekadar lembaga pendidikan formal yang hanya mengejar kelulusan administratif. Pesantren harus tetap menjadi rumah bagi santri yang haus ilmu dan barokah — sampai guru sendiri yang menyatakan, “kamu sudah cukup, sudah waktunya mengabdi.”
Selain konsisten menjaga kemurnian kurikulum kepesantrenan ala Gontor, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso juga menerapkan sistem muadalah sebagai bentuk pengakuan formal atas jenjang pendidikannya.
Sistem muadalah ini merujuk pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019, yang mengatur penyetaraan lulusan pesantren dengan pendidikan formal. Dengan muadalah, lulusan Pesantren Al-Ishlah tetap memiliki ijazah yang diakui secara sah oleh negara, tanpa harus mengorbankan ruh kurikulum pesantren yang murni dan khas.
Artinya, santri di Pesantren Al-Ishlah tetap fokus pada penguatan ilmu agama, penguasaan Al-Qur’an, kitab kuning, serta pembinaan akhlaq — namun di akhir masa belajar, mereka tetap memiliki legitimasi akademik yang setara dengan lulusan sekolah formal.
Dengan langkah ini, Al-Ishlah berhasil memadukan dua hal penting: tradisi pesantren tetap terjaga, tetapi santri juga tetap mendapatkan pengakuan resmi yang dapat digunakan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sistem muadalah inilah yang menjadi jalan tengah agar pesantren tidak kehilangan jati diri, tetapi juga tetap relevan dengan tuntutan regulasi dan kebutuhan santri di masa depan.
Ketika ditanya apa keunggulan Pesantren Al-Ishlah Bondowoso dibandingkan pesantren lain, para pengasuh selalu menegaskan satu hal: setiap pesantren punya keistimewaan masing-masing. Misalnya, Pesantren Al-Qodiri dikenal luas dengan tradisi manaqib-nya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah.
Di Pesantren Al-Ishlah, keunggulan utama bukan hanya pada sistem atau fasilitas, tetapi pada target kompetensi yang nyata — santri harus benar-benar siap menjadi pribadi yang alim sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
Ada beberapa standar kemampuan yang menjadi ciri khas di Al-Ishlah. Pertama, santri diwajibkan menguasai dua bahasa internasional, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kedua, santri juga harus mampu menghafal Al-Qur’an minimal 4 juz dari depan (juz 1-4) dan 4 juz dari belakang (juz 27-30) — bukan sekadar hafal lafadznya, tetapi juga menguasai i’rob-nya.
Selain itu, santri juga dididik menggunakan metode Ummi, yaitu metode membaca dan mengajarkan Al-Qur’an yang terstruktur dan teruji. Tidak hanya diajarkan, tetapi setiap santri wajib menempuh ujian hingga lulus dan mendapatkan syahadah metode Ummi, sebuah sertifikat resmi yang menandakan mereka sudah layak untuk mengajar Al-Qur’an dengan metode tersebut.
Inilah keunggulan yang menjadikan Pesantren Al-Ishlah bukan hanya melahirkan santri yang alim, tetapi juga siap mengabdi di masyarakat sebagai pengajar Al-Qur’an. Lulus dari Al-Ishlah berarti pulang dengan bekal ilmu, hafalan, penguasaan bahasa, adab yang kuat, dan keterampilan mengajar yang diakui secara resmi.
Pesantren Al-Ishlah membuktikan bahwa di tengah perubahan zaman, ruh pesantren tetap hidup: mendidik generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga siap membimbing dan meneruskan cahaya Al-Qur’an di manapun mereka berada.
Di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso, mendidik bukan hanya soal mentransfer ilmu atau menegakkan aturan. Para ustadz di sini diajarkan untuk memiliki “mata lebah”, bukan “mata lalat”.
Perumpamaan ini sederhana, tetapi sarat makna. Seekor lebah, ke manapun terbang, selalu mencari bunga — melihat sisi indah, menjemput sari yang bermanfaat, lalu menghasilkan madu. Sedangkan lalat, meski di sekitarnya banyak bunga dan buah segar, justru akan tertarik pada sesuatu yang busuk atau kotor.
Begitu pula falsafah mendidik di Al-Ishlah: seorang ustadz harus senantiasa melihat kebaikan santri, menghargai potensi, memetik sisi positif, dan membangkitkan semangat. Bukan berarti menutup mata dari kekurangan, tetapi tidak membiarkan mata hanya sibuk mencari-cari kesalahan lalu mengabaikan sisi baik yang tumbuh.
Prinsip ini membuat suasana belajar di pesantren terasa lebih sejuk. Santri tidak tumbuh dalam ketakutan akan teguran semata, tetapi merasa didampingi untuk terus memperbaiki diri. Ustadz yang bermata lebah akan menasihati dengan cara yang lembut, mendidik dengan kepercayaan, dan tetap tegas bila diperlukan — namun tidak menghakimi secara buta.
Falsafah mata lebah, bukan mata lalat ini sejalan dengan nilai Haidiyyun Layyinun yang dipegang di Al-Ishlah: membimbing dengan kelembutan, melihat yang baik, dan menumbuhkan yang kurang.
Inilah salah satu rahasia kenapa banyak santri betah mondok di Al-Ishlah. Karena di sini, mereka belajar di bawah bimbingan orang-orang yang bukan hanya cerdas mengajar, tetapi juga bijak dalam memandang — melihat yang indah di tengah kekurangan, menumbuhkan harapan di tengah keterbatasan.
Fenomena menarik di dunia pesantren hari ini adalah perubahan wajah santri dan wali santri. Jika dulu santri identik dengan anak-anak generasi milenial awal atau bahkan generasi sebelum itu, kini santri adalah anak-anak Gen Z — generasi yang tumbuh di era digital, serba cepat, dan akrab dengan gawai.
Menariknya, orang tua santri pun kini kebanyakan adalah generasi muda, yang cara pandang, gaya komunikasi, dan pola asuhnya pun berbeda dibanding orang tua santri di masa lalu.
Menyadari hal ini, Pesantren Al-Ishlah Bondowoso tidak hanya mendidik santri di dalam asrama, tetapi juga membangun komunikasi dan pembinaan untuk orang tua mereka. Salah satu program yang dijalankan adalah pertemuan rutin wali santri setiap bulan, di mana para orang tua diajak untuk mengikuti kajian Tafsir Jalalain.
Mengapa Tafsir Jalalain? Karena kitab tafsir ini adalah salah satu tafsir rujukan klasik yang mudah dipahami, ringkas, tetapi tetap mendalam. Dengan kajian ini, para orang tua tidak hanya terhubung secara administrasi dengan pesantren, tetapi juga mendapat asupan ilmu yang sama-sama menambah wawasan keislaman mereka.
Pesantren berharap dengan majelis tafsir bulanan ini, orang tua dan anak berjalan di jalur keilmuan yang seirama. Anak belajar Al-Qur’an di pondok, orang tua mendalami tafsir di rumah — sehingga muncul sinergi antara rumah dan pesantren.
Karena mendidik Gen Z hari ini bukan hanya tanggung jawab ustadz dan pesantren, tetapi juga kerja sama keluarga yang terus belajar, tumbuh, dan mendampingi. Pesantren hanya setengah perjalanan, rumah adalah separuhnya lagi.
Pesantren dulu dan sekarang memang tidak pernah sama. Dulu, banyak orang tua yang jika memondokkan anaknya ke pesantren, benar-benar pasrah total. Bahkan, ada cerita legendaris: orang tua menyiapkan kain kafan, seolah tanda ikhlas jika anaknya harus wafat di jalan menuntut ilmu.
Di masa itu, ditempeleng ustadz, kena hukuman keras, atau dimarahi habis-habisan, sudah dianggap lumrah. Tidak ada yang protes, karena semua pasrah pada barokah pesantren dan ikhlas agar anaknya jadi orang berilmu dan beradab.
Namun zaman berubah. Sekarang, santri mayoritas dari generasi Gen Z, begitu juga orang tuanya. Generasi ini lahir di era komunikasi cepat, lebih terbuka, dan cara mendidiknya pun tidak bisa lagi disamakan dengan pola keras masa lalu.
Pesantren Al-Ishlah Bondowoso menyadari hal ini. Karena itulah mereka menerapkan prinsip Hayyinun Layyinun — mendidik dengan kelembutan, membimbing dengan ketenangan, menasihati dengan kasih sayang.
Hukuman fisik diganti dengan pendekatan mendidik yang lebih manusiawi. Misalnya, jika ada santri melanggar aturan, tidak akan dibentak atau dipukul. Sebagai gantinya, santri akan diberi tugas sosial yang mendidik tanggung jawab — seperti membersihkan halaman pondok, membantu di dapur, atau tugas kebersihan lain selama beberapa hari.
Dengan cara ini, kesalahan tetap diberi konsekuensi, tetapi marwah pendidikan tetap terjaga: mendidik hati, bukan melukai. Pesantren tidak kehilangan wibawa, santri tetap belajar adab, dan orang tua pun merasa tenang karena tahu anaknya dibina dengan pendekatan yang bijak.
Inilah wajah pendidikan pesantren yang lentur menyesuaikan zaman, namun tetap kokoh menjaga ruh: mendidik akhlaq, menanamkan adab, dan membentuk generasi Gen Z menjadi pribadi yang santun, tangguh, dan tetap berbarokah.
Dalam satu kesempatan, Ketua STIT Al-Ishlah pernah berbagi wawasan menarik tentang mengapa banyak orang melihat Pesantren Gontor — dan juga pesantren modern yang mengikuti jejaknya — dikenal dengan aturan yang tegas dan kedisiplinan yang nyaris seperti militer.
Beliau menjelaskan, tujuan utamanya bukan semata-mata agar santri merasa tertekan atau terbebani aturan. Justru sebaliknya, sistem disiplin yang mirip militer ini disusun untuk membentuk watak kepemimpinan.
Karena di Gontor dan di pesantren model sejenis, santri tidak hanya dididik untuk taat, tetapi juga dilatih untuk mampu memimpin diri sendiri, memimpin orang lain, dan siap mengambil tanggung jawab di manapun kelak berada.
Maka wajar jika di Pesantren Al-Ishlah yang kurikulumnya mengikuti Gontor, aturan tertib, baris-berbaris, pembagian tugas, serta etika berinteraksi diatur rapi dan dijaga konsisten. Semua punya tujuan membangun mental santri menjadi orang yang tegas, berani, terorganisir, tetapi tetap lembut hatinya — perpaduan antara disiplin militer dengan sikap hayyinun layyinun.
Jadi, di balik aturan yang tampak ketat, tersimpan visi besar: menyiapkan generasi santri yang bukan hanya jadi pengikut, tapi juga pemimpin.
Inilah yang membuat pondok tetap relevan di zaman serba digital — mendidik santri yang kuat adabnya, luas ilmunya, dan siap memimpin dengan keteladanan, bukan hanya perintah.
Dalam satu kesempatan, Ketua STIT Al-Ishlah tidak hanya menjelaskan kenapa sistem Pesantren Gontor — yang juga diadopsi di Al-Ishlah — dikenal dengan aturan yang tegas layaknya militer, tetapi juga membagikan fakta menarik tentang pengakuan kualitas pendidikannya.
Beliau bercerita, dahulu ijazah lulusan Gontor justru lebih dihargai di luar negeri dibandingkan di tanah air sendiri — yang dengan nada bercanda beliau sebut “di Konoha ini”. Meskipun di negeri sendiri sering dipertanyakan karena tidak berlabel formal pemerintah, banyak universitas di Timur Tengah, Asia, bahkan Eropa membuka pintu lebar bagi lulusan Gontor, sebab mereka tahu di balik selembar ijazah itu ada disiplin, adab, dan penguasaan ilmu yang diakui dunia.
Hal inilah yang menjadi pengingat bagi Pesantren Al-Ishlah. Bahwa kualitas santri diukur bukan hanya dari kertas ijazah, tetapi dari kemampuan nyata: penguasaan bahasa, kedalaman agama, adab mulia, dan mental kepemimpinan.
Dengan tetap mencontoh Gontor, Pesantren Al-Ishlah menegaskan bahwa disiplin bukan sekadar mengekang, melainkan cara untuk menempa generasi pemimpin yang tahan uji. Ijazah bisa diakui di mana saja, tetapi adab dan kepemimpinan santri lah yang membuat pesantren tetap dihormati, bahkan di luar batas negaranya sendiri.
STIT Al-Ishlah Bondowoso punya visi yang tegas: melahirkan guru agama yang benar-benar kaffah, bukan hanya sekadar memiliki gelar. Karena itu, ada syarat yang jarang ditemukan di banyak kampus serupa — setiap mahasiswa di sini wajib memiliki hafalan Al-Qur’an sebagai bekal ilmiah dan spiritual.
Aturannya jelas. Mahasiswa STIT Al-Ishlah harus minimal hafal 2 juz Al-Qur’an ketika mulai menulis skripsi. Hafalan ini bukan hanya syarat administratif, tetapi bentuk tanggung jawab moral sebagai calon pendidik agama.
Prosesnya pun bertahap. Setelah lulus sidang skripsi, mahasiswa tidak serta-merta bisa langsung mengambil ijazah. Mereka harus menyelesaikan tambahan hafalan 2 juz lagi, sehingga total hafalan minimal 4 juz menjadi syarat resmi untuk menerima ijazah.
Kebijakan ini lahir dari keprihatinan sederhana: banyak guru agama hari ini minim penguasaan Al-Qur’an dan kitab kuning. Padahal tugas guru agama bukan hanya mentransfer teori, tetapi menanamkan nilai-nilai agama yang benar dari sumber aslinya.
Melalui syarat hafalan ini, STIT Al-Ishlah ingin memastikan bahwa setiap lulusan bukan hanya pintar berceramah, tetapi juga akrab dengan Al-Qur’an, memahami dasar ilmu agama dengan benar, dan siap mengajar dengan keilmuan yang utuh.
Menjadi guru agama di Al-Ishlah berarti menjadi teladan ilmu sekaligus teladan akhlaq, dengan bekal yang benar-benar kaffah. Karena di sinilah ruh pondok dan kampus bertemu — menguatkan akhlaq, membangun adab, dan membekali keilmuan yang mendalam.
itulah sedikit kiranya yang bisa saya bagikan. Semoga bisa kita tiru untuk pendidikan yang lebih baik. Amiin.
Posting Komentar untuk "Belajar dari Pesantren Al-Ishlah Bondowoso"