Karomah Para Wali

 


Karomah Para Wali

Fenomena karomah telah menjadi bagian integral dalam sejarah spiritual Islam, khususnya dalam tradisi tasawuf dan pesantren. Karomah dipahami sebagai kejadian luar biasa (khâriqul ‘âdah) yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Artikel ini mengulas pandangan Samsul Munir Amin dan Amin al-Qurdi tentang karomah, serta relevansinya dalam konteks modern. Di tengah krisis moral dan menurunnya kewibawaan ulama akibat politik dan globalisasi, pembahasan karomah menjadi penting untuk menghidupkan kembali kesadaran ruhani dan meneguhkan kembali nilai istiqamah para pewaris Nabi.

Karomah merupakan salah satu konsep penting dalam spiritualitas Islam, khususnya dalam dunia tasawuf. Dalam sejarah peradaban Islam, kisah-kisah karomah para wali menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk meneladani ketulusan dan kedekatan mereka dengan Allah. Sayangnya, pada era modern, pembahasan tentang karomah sering dianggap tidak relevan, bahkan sebagian kalangan menolaknya karena dianggap tidak rasional. Padahal, sebagaimana ditegaskan para ulama klasik, karomah bukanlah hal asing dalam dunia para salik dan sufi.

Menurut Samsul Munir Amin dalam bukunya Ilmu Tasawuf, mengutip pandangan Amin al-Qurdi dalam Tanwîrul Qulûb, karomah didefinisikan sebagai:

“Sesuatu yang luar biasa (khâriqul ‘âdah) yang tidak dibarengi atau didahului dengan klaim kenabian.”

Dengan kata lain, karomah adalah peristiwa luar biasa yang muncul pada diri seseorang bukan karena ia nabi, melainkan karena kedekatannya dengan Allah.

Amin al-Qurdi menegaskan bahwa orang yang menolak adanya karomah layak dikasihani, sebab penolakan itu menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap hakikat kekuasaan Allah. Dalam banyak kitab tasawuf klasik, karomah bukanlah fenomena langka, melainkan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan istiqamah.

Para ulama menetapkan beberapa syarat agar suatu peristiwa dapat disebut karomah, di antaranya:

  1. Pelakunya orang yang saleh, bukan ahli maksiat atau penyimpang.

  2. Mengikuti ajaran dan tradisi Rasulullah ﷺ secara istiqamah.

  3. Berakidah lurus, tidak menyimpang dari prinsip tauhid.

  4. Tidak dikuasai oleh syahwat duniawi, karena karomah bukan untuk mencari kedudukan atau popularitas.

Dengan demikian, karomah tidak dimiliki sembarang orang. Ia merupakan buah dari kesalehan dan keikhlasan spiritual.

Dalam tradisi tasawuf, karomah tidak pernah dijadikan tujuan utama. Ia hanyalah efek dari istiqamah dan kedekatan hamba dengan Tuhannya.

Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari dalam Al-Hikam menulis:

“Tuhan memberi engkau anugerah semata-mata agar engkau terus berusaha mendekat kepada-Nya.”

Sementara Amin al-Qurdi mengingatkan bahwa menampakkan karomah secara sengaja justru menandakan kelemahan spiritual seorang salik, kecuali jika dilakukan untuk kemaslahatan umat atau ketika eksistensi agama sedang terancam.

Karomah sejati adalah ketika seorang hamba mampu menaklukkan hawa nafsunya, bukan ketika ia mampu melakukan hal-hal ajaib. Maka, para sufi lebih menekankan karomah batiniah (kemampuan menjaga diri dari dosa) daripada karomah lahiriah.

Dalam dunia pesantren, istilah karomah dikenal juga sebagai khâriqul ‘âdah, yakni sesuatu yang menyalahi kebiasaan manusia biasa. Kisah-kisah karomah telah menjadi bagian dari sejarah Islam di Nusantara, terutama dalam dakwah Wali Songo.

Wali-wali Allah di tanah Jawa menampilkan keajaiban bukan untuk pamer kesaktian, tetapi sebagai media dakwah dan pembuktian kekuasaan Allah. Berkat kebersihan hati dan kedekatan spiritual mereka, masyarakat tertarik kepada Islam bukan karena takut, tetapi karena kagum terhadap akhlak dan ketulusan para wali.

Apakah pembahasan karomah masih relevan pada masa kini? Jawabannya: sangat penting.

Para kiai, sebagai pewaris para nabi, kini menghadapi tantangan serius — kewibawaan mereka kian luntur karena politik, globalisasi, dan materialisme. Pembahasan tentang karomah menjadi upaya menghidupkan kembali semangat spiritualitas ulama salaf, agar para kiai modern meneladani kesalehan dan keikhlasan para pendahulunya.

Bagi masyarakat umum, memahami karomah bukan untuk mencari kesaktian, tetapi untuk menyadarkan diri bahwa kedekatan kepada Allah adalah sumber kekuatan sejati.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, fenomena karomah kadang dikaitkan dengan psikokinesis — kemampuan luar biasa manusia yang sulit dijelaskan secara logika. Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sumber kekuatan:

  • Psikokinesis berangkat dari potensi energi manusia,

  • Sedangkan karomah bersumber dari anugerah Allah.

Seseorang yang dekat dengan Allah memantulkan cahaya Ilahi pada perilakunya, tutur katanya, dan pengaruh spiritualnya terhadap orang lain.

Pepatah Arab mengatakan:

“Tirulah orang besar, jika engkau tak mampu menyamainya, itu pun sudah kemenangan.”

Meneladani para wali adalah kemenangan rohani, meski kita belum mampu mencapai derajat mereka.
Karomah bukan tujuan hidup seorang salik, melainkan buah dari istiqamah dan ketulusan mendekat kepada Allah.
Ketika hati bersih dan jiwa terarah kepada Allah, maka setiap langkah dan ucapan pun menjadi pantulan dari cahaya-Nya.

Daftar Pustaka

  1. Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2012.

  2. Al-Qurdi, Muhammad Amin. Tanwîrul Qulûb fî Mu‘āmalati ‘Allāmi al-Ghuyûb. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.

  3. Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari. Al-Hikam al-‘Atho’iyyah. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.t.

  4. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.

  5. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1999.

  6. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Posting Komentar untuk "Karomah Para Wali"